JUBAH
PUTIH
SEBAGAI PAKAIAN
LITURGIS DALAM IBADAH
DI GKSBS
1.
TOGA HITAM, JUBAH PUTIH, BEF,
CLERGICAL COLLAR & STOLLA
Pada tahun 1523,
ketika Martin Luther berkotbah di Wittenberg, ia memakai gaun doktornya (Toga
Hitam), yang akhirnya lembat laun menjadi terkenal di seluruh Jerman, Perancis
dan Swiss. Bahkan di Nederland, Pendeta-pendeta Protestan menggantikan Pakaian
Jabatan Gereja Katolik dengan Toga hitam yang disebut Tabberd.[1]
Dari Nederland, tabberd
atau toga ini diexpor ke Indonesia.
Hal ini kemudian diikuti oleh badan-badan Zending
lain dari Jerman, Swiss dan Amerika sehingga pada gilirannya kebanyakan Gereja
Protestan di Indonesia telah mempunyai semacam Pakaian Jabatan, yaitu toga
hitam.
Selain pakaian jabatan yang bernama toga (= gaun) hitam, juga dipakai “bef” (dasi
putih)[2] dengan atau tanpa stolla (= kain atau pita lebar dan panjang). Setiap Pendeta harus memakai
pakaian jabatannya pada saat ia melayani dalam pelayanan-pelayanan resmi. Hal
ini hanya berlaku bagi Pendeta. Bagi Penatua dan Diaken umumnya tidak memiliki pakaian jabatan seperti di atas.[3]
GKSBS
sejak keberadaannya ketika masih menjadi bagian Sinode Wilayah I GKJ sudah
menerapkan Toga hitam dengan bef sebagai pakaian jabatan Pendeta GKSBS.[4] Meskipun
sejak tahun 2015 telah ditetapkan bahwa pakaian jabatan Pendeta GKSBS adalah
jubah putih memakai clergical collar dan stola[5], namun
hingga akhir tahun 2016 belum ada kesepakatan standar jubah putih tersebut
secara sinodal sehingga sebagian Pendeta menggunakan toga hitam dan sebagian lainnya menggunakan jubah putih dengan
atau tanpa variasi warna pada jubah, saat melayani ibadah sakramen (perjamuan
kudus dan pelayanan baptis) dan sakramental (pernikahan, sidi, pertobatan,
peneguhan anggota Majelis).[6]
Dengan
demikian, dibutuhkan ketegasan pendirian GKSBS dalam soal pakaian jabatan bagi
Pendeta/ pakaian liturgis bagi Penatua dan Diaken ini.[7]
2.
Pakaian Jabatan dan
Pakaian Liturgis : Suatu Tinjauan Teologis
Pada abad
pertengahan, pengunaan pakaian jabatan adalah suatu keharusan, karena pada
waktu itu masing-masing golongan mempunyai pakaian khasnya sendiri-sendiri.
Para perwira memakai pakaian indah dari satin dan beludru, orang-orang desa
berbeda pakaiannya dengan orang kota, penembak dan pedagang juga memakai
pakaian khas. Hal itu nampak dalam lukisan-lukisan produk masa itu. Apabila
kemudian ada toga sebagai Pakaian
Jabatan bagi Pendeta, maka patutlah disadari bahwa pakaian itulah yang paling
tepat pada masa itu sebagai pembeda dengan golongan-golongan yang ada pada masa
itu. Maka dalam lukisan para reformator dan pengkotbah pada masa itu,
mengenakan toga.
Setelah toga dikhususkan bagi Sarjana, Magister dan Doktor, maka toga Pendeta digantikan dengan pakaian
lain, yaitu rok, bef, mantel, celana pendek dengan gesper.[8]
Tetapi kemudian, pada tahun 1854, Sinode Den Haag memutuskan bahwa Toga harus kembali dipakai oleh para
Pendeta.
Persoalan
warna pakaian
jabatan
kurang ditinjau dari sudut pandang teologis. Meskipun pakaian jabatan tidak memiliki kuasa penyelamatan, tetapi,
penyia-penyiaan pakaian
jabatan
dapat bersumber pada sesuatu yang kurang beres. Dan justru hal inilah yang
seharusnya diselidiki. Reformasi
Martin Luther tidak meniadakan Pakaian Jabatan, ia memberikan kebebasan penuh
bagi pengikutnya dan Gereja untuk menentukan sikapnya terhadap Pakaian Jabatan.
Menurut Faber,
pakaian bahkan tiap-tiap pakaian memiliki bahasanya sendiri. Itulah rahasia
mode. Maksud sebenarnya yang tersembunyi dalam hati seseorang dapat kita
ketahui dari pakaian yang dikenakannya. Antara Psikhe dengan pakaian memiliki hubungan yang erat. Bukan manusia
saja yang memakai pakaian, tetapi pakaian juga memakai manusia. Demikian juga,
pakaian memiliki pengaruh sugestif atas daerah sekelilingnya, dalam hal ini
atas jemaat. Itulah sebabnya, Gereja selama masih mempunyai “jabatan”, tidak dapat
membebaskan dirinya dari pakaian
jabatan.
Dari sinilah Calvin kemudian merekomendasikan
warna hitam untuk toga.
Mengapa GKSBS
tidak lagi memakai toga berwarna hitam
dan menggantinya dengan jubah putih ? Dari sudut pandangan teologis, warna
hitam menyebabkan makna perayaan
Perjamuan Kudus sering kali bergeser; tidak lagi dihayati sebagai sebuah
perayaan tetapi lebih sebagai perjamuan duka. Bukankah warna ini ikut menggeser dasar
pengajaran Gereja, bahwa kematian Kristus harus disambut bukan dengan
kesedihan, tapi sebagai berita kesukaan?
Lain dari pada
itu, pakaian Toga hitam adalah pakaian Sarjana, Magister dan Doktor sekaligus juga merupakan baju Jaksa, Pembela dan Hakim dalam
pengadilan. Ia adalah pakaian akademis dan pakaian pengadilan yang
telah masuk ke dalam gereja.
Ibadah
Minggu bukanlah ruang
pengadilan tetapi
ruang persekutuan hangat satu keluarga, yaitu persekutuan anak-anak Allah Yang
Maha Pengampun. Warnanya
yang hitam tidak cocok dengan sifat perayaan itu. Maka warnanya harus diganti
dengan warna lain yakni
putih.
Tata Gereja GKSBS 2015 menyebutkan bahwa jubah bagi Pendeta,
Penatua dan Diaken adalah putih. Jubah tersebut berwarna putih solid (lambang
kekudusan) tanpa krah dan membentuk huruf V (Viktor = kemenangan). Huruf V
melambangkan kemenangan di dalam Kristus. Jubah putih solid tersebut tanpa
variasi warna apapun. Satu satunya variasi warna yang dikenakan pada jubah
tersebut adalah stola berwarna tahun gerejawi. Jubah ini dibuat sederhana,
tanpa sayap, tanpa benik (menggunakan resleuting Jepang), tanpa benik pangkat
atau variasi apapun yang melambangkan kesederhanaan pakaian pelayan di gereja yang berdiakonia.
Dengan demikian, jubah atau pakaian liturgis GKSBS adalah
sebagai berikut:
1.
Berwarna putih solid, tanpa sayap, tanpa benik
pangkat, tanpa benik atau variasi apapun.
2.
Menggunakan resleiting Jepang pada bagian depan
yakni di bawah leher sampai pusar,
sehingga apabila Pendeta menggunakan asesoris kalung salib dapat
terlihat baik.
3.
Tempat leher berbentuk V sehingga apabila
Pendeta menggunakan collar atau Penatua dan Diaken menggunakan dasi pada kemeja
mereka masih terlihat dengan jelas.
4.
Dibuat belahan pada samping kanan dan kiri bawah
pakaian liturgis tersebut agar Pelayan leluasa berjalan.
5.
Pada pakaian liturgis, terdapat lubang saku pada
kanan dan kiri yang dapat memudahkan Pelayan kebaktian untuk mengambil saputangan atau persembahan
di saku celana.
6.
Variasi warna hanya pada stolla.
Demikianlah
keterangan tentang jubah para pelayan gereja di GKSBS. Kiranya pelayanan para
pelayan gereja diakonia yakni GKSBS sungguh memberi dampak baik bagi Sumatera
Bagian Selatan bahkan untuk konteks yang lebih luas.
[1]
Sebenarnya, pada pertengahan abad ke-17 Pakaian Jabatan (yakni Toga)dalam Gereja Protestan sudah tidak
ada lagi. Tetapi masalah baru timbul saat banyak keluhan yang muncul terhadap
pakaian yang dikenakan oleh Pendeta-pendeta Protestan. Banyak Pendeta Protestan
yang mengikuti pergantian mode pakaian
dan memakai rupa-rupa variasi dari gaun (rok) dan leher baju Perancis. Mereka
memakai rambut palsu atau topi. Banyak juga Pendeta yang memakai pakaian
parlente (gagah) dan lebih “modis” daripada anggota jemaat biasa. Hal inilah
yang kemudian mendorong Gereja-gereja kembali menggunakan toga bagi para Pendetanya.
[2]
Bef ini kemudian berubah menjadi clergical collar (pengganti dasi, berwarna putih, diselipkan di
krah leher pada baju Pendeta).
[3]
Pada tahun 2015, dalam Tata Gereja GKSBS disebutkan bahwa Penatua dan Diaken
juga harus mengenakan semacam pakaian jabatan yang disebut sebagai pakaian
liturgis berwarna putih dengan stola saat melayani ibadah. Pakaian liturgis
bagi penatua dan diaken ini disebut juga jubah. Lih. Sinode GKSBS, Tata Gereja
GKSBS, TP, 2015, p. 19.
[4]
Dalam perkembangannya, pada tahun 1985 mulai digunakan clergical collar untuk
menggantikan bef. Hal ini kemudian diatur dalam Tata Gereja dan Tata Laksana
GKSBS tentang pakaian jabatan Pendeta GKSBS. Meskipun demikian, beberapa
Pendeta masih tetap menggunakan bef dan bukan clergical collar hingga tahun
2016.
[5]
Sinode GKSBS, Tata Gereja GKSBS, TP, 2015, p. 24.
[6]
Ada Pendeta GKSBS yang mengenakan jubah putih dengan ujung lengan bervariasi
warna hitam, ada juga yang diberi variasi warna ungu. Juga ada jubah putih
dengan dua variasi warna ungu memanjang (seperti stola yang melekat) di bagian
pundak, dada hingga berakhir pada ujung
jubah. Warna putihnya pun berbeda-beda. Ada yang putih solid ada pula yang
putih kekuningan (putih tulang) atau warna kelapa gading.
[7]
Pernah terjadi di Amsterdam diberlakukan Pakaian Jabatan bagi Pendeta, Penatua
dan Diaken. Menurut Kuyper, pakaian jabatan tidak boleh berbeda. Jika tidak
demikian, akan tercipta hierarkhi dalam gereja. GKSBS menetapkan jubah bagi
pendeta, penatua dan diaken adalah jubah berwarna putih. Untuk Pendeta jubah
putih tersebut boleh disebut pakaian jabatan dan untuk Penatua dan Diaken jubah
putih tersebut disebut pakaian liturgis. Pendeta, Penatua dan Diaken harus
mengenakan stola pada jubah putih mereka. Perbedaan mereka adalah pada
penggunaan clergical collar pada Pendeta, sementara bagi Penatua dan Diaken
tidak menggunakannya. Penggunaan Dasi pada kemeja yang dikenakan Penatua dan
Diaken tidak disebutkan, artinya boleh digunakan walaupun tidak merupakan
keharusan. Bdk. Sinode GKSBS, Tata
Gereja GKSBS, TP, 2015, p. 19 dan p 24.
[8]
Motivasi yang melatarbelakangi sebenarnya bahwa Pakaian tersebut dipandang lebih gagah dari segala penemu mode pakaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar