Senin, 20 Februari 2017

Pakaian Jabatan Pendeta, Penatua dan Diaken GKSBS

JUBAH PUTIH
SEBAGAI PAKAIAN LITURGIS DALAM  IBADAH
DI GKSBS


1.      TOGA HITAM, JUBAH PUTIH, BEF, CLERGICAL COLLAR & STOLLA

Pada tahun 1523, ketika Martin Luther berkotbah di Wittenberg, ia memakai gaun doktornya (Toga Hitam), yang akhirnya lembat laun menjadi terkenal di seluruh Jerman, Perancis dan Swiss. Bahkan di Nederland, Pendeta-pendeta Protestan menggantikan Pakaian Jabatan Gereja Katolik dengan Toga hitam yang disebut Tabberd.[1]

Dari Nederland, tabberd atau toga ini diexpor ke Indonesia. Hal ini kemudian diikuti oleh badan-badan Zending lain dari Jerman, Swiss dan Amerika sehingga pada gilirannya kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia telah mempunyai semacam Pakaian Jabatan, yaitu toga hitam.

Selain pakaian jabatan yang bernama toga (= gaun) hitam, juga dipakai “bef” (dasi putih)[2]  dengan atau tanpa stolla (= kain atau pita lebar dan panjang). Setiap Pendeta harus memakai pakaian jabatannya pada saat ia melayani dalam pelayanan-pelayanan resmi. Hal ini hanya berlaku bagi Pendeta. Bagi Penatua dan Diaken umumnya tidak memiliki pakaian jabatan seperti di atas.[3]

GKSBS sejak keberadaannya ketika masih menjadi bagian Sinode Wilayah I GKJ sudah menerapkan Toga hitam dengan bef sebagai pakaian jabatan Pendeta GKSBS.[4] Meskipun sejak tahun 2015 telah ditetapkan bahwa pakaian jabatan Pendeta GKSBS adalah jubah putih memakai clergical collar dan stola[5], namun hingga akhir tahun 2016 belum ada kesepakatan standar jubah putih tersebut secara sinodal sehingga sebagian Pendeta menggunakan toga hitam  dan sebagian lainnya menggunakan jubah putih dengan atau tanpa variasi warna pada jubah, saat melayani ibadah sakramen (perjamuan kudus dan pelayanan baptis) dan sakramental (pernikahan, sidi, pertobatan, peneguhan anggota Majelis).[6]
Dengan demikian, dibutuhkan ketegasan pendirian GKSBS dalam soal pakaian jabatan bagi Pendeta/ pakaian liturgis bagi Penatua dan Diaken ini.[7]

2.      Pakaian Jabatan dan Pakaian Liturgis : Suatu Tinjauan Teologis

Pada abad pertengahan, pengunaan pakaian jabatan adalah suatu keharusan, karena pada waktu itu masing-masing golongan mempunyai pakaian khasnya sendiri-sendiri. Para perwira memakai pakaian indah dari satin dan beludru, orang-orang desa berbeda pakaiannya dengan orang kota, penembak dan pedagang juga memakai pakaian khas. Hal itu nampak dalam lukisan-lukisan produk masa itu. Apabila kemudian ada toga sebagai Pakaian Jabatan bagi Pendeta, maka patutlah disadari bahwa pakaian itulah yang paling tepat pada masa itu sebagai pembeda dengan golongan-golongan yang ada pada masa itu. Maka dalam lukisan para reformator dan pengkotbah pada masa itu, mengenakan toga.

Setelah toga dikhususkan bagi Sarjana, Magister dan Doktor, maka toga Pendeta digantikan dengan pakaian lain, yaitu rok, bef, mantel, celana pendek dengan gesper.[8] Tetapi kemudian, pada tahun 1854, Sinode Den Haag memutuskan bahwa Toga harus kembali dipakai oleh para Pendeta.

Persoalan warna pakaian jabatan kurang ditinjau dari sudut pandang teologis. Meskipun pakaian jabatan tidak memiliki kuasa penyelamatan, tetapi, penyia-penyiaan pakaian jabatan dapat bersumber pada sesuatu yang kurang beres. Dan justru hal inilah yang seharusnya diselidiki. Reformasi Martin Luther tidak meniadakan Pakaian Jabatan, ia memberikan kebebasan penuh bagi pengikutnya dan Gereja untuk menentukan sikapnya terhadap Pakaian Jabatan.

Menurut Faber, pakaian bahkan tiap-tiap pakaian memiliki bahasanya sendiri. Itulah rahasia mode. Maksud sebenarnya yang tersembunyi dalam hati seseorang dapat kita ketahui dari pakaian yang dikenakannya. Antara Psikhe dengan pakaian memiliki hubungan yang erat. Bukan manusia saja yang memakai pakaian, tetapi pakaian juga memakai manusia. Demikian juga, pakaian memiliki pengaruh sugestif atas daerah sekelilingnya, dalam hal ini atas jemaat. Itulah sebabnya, Gereja selama masih mempunyai “jabatan”, tidak dapat membebaskan dirinya dari pakaian jabatan. Dari sinilah Calvin kemudian merekomendasikan warna hitam untuk toga.

Mengapa GKSBS tidak lagi memakai toga berwarna hitam  dan menggantinya dengan jubah putih ? Dari sudut pandangan teologis, warna hitam menyebabkan makna perayaan Perjamuan Kudus sering kali bergeser; tidak lagi dihayati sebagai sebuah perayaan tetapi lebih sebagai perjamuan duka. Bukankah warna ini ikut menggeser dasar pengajaran Gereja, bahwa kematian Kristus harus disambut bukan dengan kesedihan, tapi sebagai berita kesukaan?

Lain dari pada itu, pakaian Toga hitam adalah pakaian Sarjana, Magister dan Doktor sekaligus juga merupakan baju Jaksa, Pembela dan Hakim dalam pengadilan. Ia adalah pakaian akademis dan pakaian pengadilan yang telah masuk ke dalam gereja. Ibadah Minggu bukanlah ruang pengadilan tetapi ruang persekutuan hangat satu keluarga, yaitu persekutuan anak-anak Allah Yang Maha Pengampun. Warnanya yang hitam tidak cocok dengan sifat perayaan itu. Maka warnanya harus diganti dengan warna lain yakni putih.

Tata Gereja GKSBS 2015 menyebutkan bahwa jubah bagi Pendeta, Penatua dan Diaken adalah putih. Jubah tersebut berwarna putih solid (lambang kekudusan) tanpa krah dan membentuk huruf V (Viktor = kemenangan). Huruf V melambangkan kemenangan di dalam Kristus. Jubah putih solid tersebut tanpa variasi warna apapun. Satu satunya variasi warna yang dikenakan pada jubah tersebut adalah stola berwarna tahun gerejawi. Jubah ini dibuat sederhana, tanpa sayap, tanpa benik (menggunakan resleuting Jepang), tanpa benik pangkat atau variasi apapun yang melambangkan kesederhanaan pakaian pelayan di  gereja yang berdiakonia.

Dengan demikian, jubah atau pakaian liturgis GKSBS adalah sebagai berikut:

1.       Berwarna putih solid, tanpa sayap, tanpa benik pangkat, tanpa benik atau variasi apapun.
2.       Menggunakan resleiting Jepang pada bagian depan yakni di bawah leher sampai pusar,  sehingga apabila Pendeta menggunakan asesoris kalung salib dapat terlihat baik.
3.       Tempat leher berbentuk V sehingga apabila Pendeta menggunakan collar atau Penatua dan Diaken menggunakan dasi pada kemeja mereka masih terlihat dengan jelas.
4.       Dibuat belahan pada samping kanan dan kiri bawah pakaian liturgis tersebut agar Pelayan leluasa berjalan.
5.       Pada pakaian liturgis, terdapat lubang saku pada kanan dan kiri yang dapat memudahkan Pelayan kebaktian  untuk mengambil saputangan atau persembahan di saku celana.
6.       Variasi warna hanya pada stolla.
Demikianlah keterangan tentang jubah para pelayan gereja di GKSBS. Kiranya pelayanan para pelayan gereja diakonia yakni GKSBS sungguh memberi dampak baik bagi Sumatera Bagian Selatan bahkan untuk konteks yang lebih luas.



[1] Sebenarnya, pada pertengahan abad ke-17 Pakaian Jabatan (yakni Toga)dalam Gereja Protestan sudah tidak ada lagi. Tetapi masalah baru timbul saat banyak keluhan yang muncul terhadap pakaian yang dikenakan oleh Pendeta-pendeta Protestan. Banyak Pendeta Protestan yang mengikuti pergantian mode pakaian dan memakai rupa-rupa variasi dari gaun (rok) dan leher baju Perancis. Mereka memakai rambut palsu atau topi. Banyak juga Pendeta yang memakai pakaian parlente (gagah) dan lebih “modis” daripada anggota jemaat biasa. Hal inilah yang kemudian mendorong Gereja-gereja kembali menggunakan toga bagi para Pendetanya.
[2] Bef ini  kemudian berubah menjadi clergical collar (pengganti dasi, berwarna putih, diselipkan di krah leher pada baju Pendeta).
[3] Pada tahun 2015, dalam Tata Gereja GKSBS disebutkan bahwa Penatua dan Diaken juga harus mengenakan semacam pakaian jabatan yang disebut sebagai pakaian liturgis berwarna putih dengan stola saat melayani ibadah. Pakaian liturgis bagi penatua dan diaken ini disebut juga jubah. Lih. Sinode GKSBS, Tata Gereja GKSBS, TP, 2015, p. 19.
[4] Dalam perkembangannya, pada tahun 1985 mulai digunakan clergical collar untuk menggantikan bef. Hal ini kemudian diatur dalam Tata Gereja dan Tata Laksana GKSBS tentang pakaian jabatan Pendeta GKSBS. Meskipun demikian, beberapa Pendeta masih tetap menggunakan bef dan bukan clergical collar hingga tahun 2016.
[5] Sinode GKSBS, Tata Gereja GKSBS, TP, 2015, p. 24.
[6] Ada Pendeta GKSBS yang mengenakan jubah putih dengan ujung lengan bervariasi warna hitam, ada juga yang diberi variasi warna ungu. Juga ada jubah putih dengan dua variasi warna ungu memanjang (seperti stola yang melekat) di bagian pundak, dada hingga berakhir pada  ujung jubah. Warna putihnya pun berbeda-beda. Ada yang putih solid ada pula yang putih kekuningan (putih tulang) atau warna kelapa gading.  
[7] Pernah terjadi di Amsterdam diberlakukan Pakaian Jabatan bagi Pendeta, Penatua dan Diaken. Menurut Kuyper, pakaian jabatan tidak boleh berbeda. Jika tidak demikian, akan tercipta hierarkhi dalam gereja. GKSBS menetapkan jubah bagi pendeta, penatua dan diaken adalah jubah berwarna putih. Untuk Pendeta jubah putih tersebut boleh disebut pakaian jabatan dan untuk Penatua dan Diaken jubah putih tersebut disebut pakaian liturgis. Pendeta, Penatua dan Diaken harus mengenakan stola pada jubah putih mereka. Perbedaan mereka adalah pada penggunaan clergical collar pada Pendeta, sementara bagi Penatua dan Diaken tidak menggunakannya. Penggunaan Dasi pada kemeja yang dikenakan Penatua dan Diaken tidak disebutkan, artinya boleh digunakan walaupun tidak merupakan keharusan.  Bdk. Sinode GKSBS, Tata Gereja GKSBS, TP, 2015, p. 19 dan p 24.
[8] Motivasi yang melatarbelakangi sebenarnya bahwa Pakaian tersebut dipandang lebih gagah dari segala penemu mode pakaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar